Setiap tahun ajaran baru tiba, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menjadi sorotan utama, khususnya sistem zonasi yang diterapkan. Niatnya mulia, untuk menciptakan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, namun dalam praktiknya kerap menimbulkan polemik dan tantangan tak berkesudahan. Dari keluhan orang tua hingga isu “titip nama”, sistem ini terus diuji dalam menghadapi realitas lapangan yang kompleks, memaksa kita merenungkan kembali efektivitasnya dalam mencapai tujuan ideal pendidikan yang adil bagi seluruh anak bangsa.
Tujuan Mulia di Balik Sistem Zonasi dan Realitas Lapangan
Sistem zonasi PPDB diperkenalkan dengan visi besar: memutus mata rantai persaingan tidak sehat antar sekolah favorit, mengurangi praktik titip-menitip, serta mendorong pemerataan kualitas pendidikan. Idenya sederhana, setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan di sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya, tanpa memandang status sosial atau prestasi akademik semata. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sekolah “unggulan” yang menumpuk siswa berprestasi, sementara sekolah lain kekurangan peminat. Kebijakan ini juga bertujuan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas semua sekolah, sehingga orang tua tidak lagi terobsesi menyekolahkan anaknya ke sekolah tertentu yang dianggap “favorit” jauh dari rumah.
Namun, implementasi di lapangan jauh dari kata mulus. Kesenjangan kualitas sekolah yang sudah mengakar lama tidak serta-merta hilang dengan sistem zonasi. Sekolah-sekolah yang dulunya berlabel favorit tetap menjadi incaran, bahkan dengan berbagai cara. Praktik “titip nama” atau pemalsuan alamat domisili menjadi modus operandi yang sering terungkap, menciptakan ketidakadilan bagi calon siswa yang benar-benar berdomisili di zona tersebut. Infrastruktur pendidikan yang tidak merata juga menjadi kendala. Di beberapa daerah, jumlah sekolah yang memadai tidak sebanding dengan kepadatan penduduk, menyebabkan beberapa zona memiliki terlalu banyak calon siswa sementara zona lain kekurangan. Akibatnya, orang tua dan siswa terpaksa menempuh jarak jauh atau bahkan tidak mendapatkan sekolah yang layak.
Dampak Sosial, Psikologis, dan Ekonomi bagi Masyarakat
Polemik zonasi tidak hanya berhenti pada masalah teknis pendaftaran. Dampaknya meluas ke ranah sosial, psikologis, dan ekonomi bagi masyarakat. Bagi orang tua, proses PPDB seringkali menjadi momok penuh kecemasan. Mereka khawatir anak-anaknya tidak mendapatkan sekolah yang diinginkan, atau harus berkompromi dengan kualitas sekolah yang kurang memadai di zona mereka. Ini menciptakan tekanan psikologis yang signifikan, terutama bagi orang tua yang memiliki harapan tinggi terhadap masa depan pendidikan anaknya.
Secara sosial, sistem zonasi juga dapat memperlebar kesenjangan. Meskipun tujuannya adalah pemerataan, jika kualitas sekolah di zona tertentu masih jauh di bawah standar, maka anak-anak dari keluarga kurang mampu yang tinggal di zona tersebut akan terus tertinggal. Mereka tidak memiliki pilihan untuk mengakses sekolah berkualitas lebih baik di luar zona, tidak seperti keluarga mampu yang mungkin bisa menyiasati dengan memindahkan domisili atau memilih sekolah swasta. Ini menciptakan “zonasi” kualitas yang baru, di mana kualitas pendidikan sangat tergantung pada lokasi tempat tinggal dan kemampuan ekonomi keluarga. Selain itu, guru-guru di sekolah “non-favorit” juga menghadapi tantangan moril dan motivasi ketika harus mengajar siswa yang mungkin datang dengan minat dan motivasi yang beragam, atau bahkan terpaksa masuk ke sekolah tersebut karena zonasi.
“Sistem zonasi adalah alat, bukan solusi akhir. Untuk mencapai pemerataan kualitas pendidikan, kita tidak bisa hanya bergantung pada mekanisme penerimaan siswa. Peningkatan kualitas guru, fasilitas sekolah, kurikulum, dan dukungan dana harus dilakukan secara menyeluruh dan merata di semua jenjang dan wilayah,” ujar seorang pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Verifikasi data calon siswa harus lebih ketat dan transparan. Pemerintah daerah perlu fokus pada peningkatan kualitas sekolah di semua zona, bukan hanya di area perkotaan. Ini termasuk perbaikan fasilitas, peningkatan kompetensi guru, serta penyediaan kurikulum yang relevan. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, orang tua, dan masyarakat juga menjadi kunci untuk menemukan titik temu antara tujuan ideal pemerataan dan realitas tantangan di lapangan. Tanpa upaya menyeluruh, sistem zonasi akan terus menjadi sumber polemik, alih-alih menjadi jembatan menuju pendidikan yang lebih adil dan berkualitas bagi semua.
- Sistem zonasi PPDB bertujuan untuk mewujudkan pemerataan akses dan kualitas pendidikan serta mengurangi praktik tidak sehat.
- Implementasinya menghadapi tantangan serius seperti praktik “titip nama”, pemalsuan domisili, dan kesenjangan infrastruktur pendidikan antar zona.
- Dampak polemik zonasi meluas ke ranah sosial, psikologis (kecemasan orang tua), dan ekonomi (memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan berdasarkan lokasi).
- Diperlukan pendekatan komprehensif termasuk verifikasi data yang ketat, peningkatan kualitas sekolah secara merata, dan kolaborasi semua pihak terkait.
- Tanpa upaya menyeluruh pada peningkatan kualitas dasar pendidikan, sistem zonasi akan terus menjadi perdebatan alih-alih solusi.