Indonesia, dengan topografi dan kondisi geografisnya yang unik, selalu rentan terhadap berbagai bencana alam. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan lahar dingin, terlihat mengalami peningkatan yang signifikan, seperti yang baru-baru ini terjadi di Sumatera Barat. Peristiwa yang merenggut banyak korban jiwa dan menimbulkan kerugian material yang besar ini menjadi pengingat keras akan kompleksitas tantangan yang dihadapi bangsa ini, di mana faktor cuaca ekstrem bertemu dengan kondisi lingkungan yang rentan.
Jejak Bencana di Kaki Gunung Marapi
Wilayah Agam dan Tanah Datar di Sumatera Barat kembali dihantam bencana dahsyat pada pertengahan Mei lalu, di mana banjir bandang bercampur lahar dingin dari Gunung Marapi menyapu permukiman, jalan, dan fasilitas umum. Peristiwa ini bukan yang pertama kali, mengulang kejadian serupa pada awal tahun. Erupsi Gunung Marapi yang aktif sejak akhir 2023 telah menghasilkan material vulkanik berupa abu dan batuan yang menumpuk di lereng-lereng gunung. Ketika hujan deras mengguyur, material ini tergerus dan mengalir deras sebagai lahar dingin, menyeret apa pun yang dilewatinya. Kondisi ini diperparah oleh deforestasi dan perubahan tata guna lahan di hulu sungai, yang mengurangi kemampuan tanah untuk menahan air, sehingga aliran permukaan menjadi lebih besar dan cepat. Daerah aliran sungai (DAS) yang semestinya berfungsi sebagai penyangga alami, kini justru menjadi jalur cepat bagi air dan material vulkanik. Kerentanan geografis Sumatera Barat yang dikelilingi banyak gunung api aktif dan memiliki curah hujan tinggi, menempatkan masyarakatnya dalam risiko tinggi terhadap bencana serupa di masa depan.
Cuaca Ekstrem dan Kerusakan Lingkungan: Kombinasi Mematikan
Peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi seperti yang terjadi di Sumatera Barat tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama: perubahan iklim global dan degradasi lingkungan lokal. Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca menjadi lebih ekstrem dan tidak terduga, dengan curah hujan yang lebih tinggi dalam waktu singkat, memicu banjir bandang. Di sisi lain, degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia seperti penebangan hutan ilegal, pembangunan tanpa perencanaan yang matang, dan penambangan pasir atau batu yang tidak terkontrol, telah mengurangi daya dukung lingkungan. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai “penyerap” dan “penahan” air hujan, kini banyak yang hilang, menyebabkan tanah kehilangan kemampuannya untuk mengikat air. Akibatnya, air langsung meluncur ke dataran rendah, membawa serta sedimen, lumpur, dan material lainnya. Kombinasi mematikan antara curah hujan ekstrem dan lingkungan yang rusak inilah yang menjadikan daerah-daerah seperti Sumatera Barat sangat rentan terhadap bencana, mengancam keberlanjutan hidup masyarakat dan pembangunan di kawasan tersebut.
“Peningkatan bencana hidrometeorologi adalah bukti nyata bahwa kita harus segera bertindak. Ini bukan hanya tentang mitigasi pascabencana, tetapi juga pencegahan melalui konservasi lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk menjaga hutan dan DAS akan jauh lebih berharga daripada biaya pemulihan setelah bencana.”
Langkah Mitigasi dan Adaptasi yang Mendasar
Menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pemerintah daerah bersama masyarakat harus bekerja sama dalam upaya reforestasi, khususnya di daerah hulu sungai dan lereng gunung. Edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan bahaya buang sampah sembarangan juga perlu digalakkan. Selain itu, penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana menjadi krusial, memastikan pembangunan tidak dilakukan di zona rawan. Sistem peringatan dini yang efektif dan mudah diakses oleh masyarakat juga harus diperkuat. Pada level yang lebih luas, pemerintah pusat perlu terus mendorong kebijakan yang mendukung adaptasi iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Bencana di Sumatera Barat seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang strategi penanganan bencana nasional, agar lebih proaktif dan melibatkan seluruh elemen bangsa dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat.
- Bencana banjir bandang dan lahar dingin di Sumatera Barat menyoroti kerentanan Indonesia terhadap hidrometeorologi.
- Material vulkanik Gunung Marapi dan curah hujan ekstrem menjadi pemicu utama, diperparah oleh degradasi lingkungan.
- Deforestasi dan perubahan tata guna lahan mengurangi daya dukung lingkungan, mempercepat aliran air dan material.
- Kombinasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lokal menciptakan ancaman yang mematikan.
- Diperlukan langkah mitigasi dan adaptasi holistik, termasuk reforestasi, edukasi, penataan ruang, dan sistem peringatan dini yang kuat.