Uni Eropa (UE) telah memperkenalkan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR), sebuah kebijakan ambisius yang bertujuan untuk memastikan produk yang dipasarkan di wilayahnya tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan setelah 31 Desember 2020. Regulasi ini mencakup tujuh komoditas utama dan turunannya—minyak kelapa sawit, kopi, kakao, kedelai, kayu, karet, dan daging sapi—yang memiliki dampak signifikan terhadap rantai pasok global, termasuk Indonesia sebagai salah satu produsen komoditas terbesar dunia. Penerapan EUDR ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk memperkuat praktik berkelanjutan dan meningkatkan daya saing produk di pasar internasional.
Mekanisme dan Lingkup Regulasi Deforestasi Uni Eropa
EUDR mewajibkan perusahaan yang memasukkan produk ke pasar UE atau mengekspornya dari UE untuk melakukan uji tuntas (due diligence) yang ketat. Uji tuntas ini mencakup tiga pilar utama: informasi (mengumpulkan data produk, termasuk geolokasi lahan produksi), penilaian risiko (menilai risiko deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia terkait), dan mitigasi risiko (mengambil tindakan untuk mengurangi risiko ke tingkat yang dapat diabaikan). Secara khusus, perusahaan harus dapat membuktikan bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan yang telah mengalami deforestasi atau degradasi hutan setelah tanggal batas yang ditetapkan, serta diproduksi sesuai dengan undang-undang yang relevan di negara asal, termasuk hak-hak masyarakat adat.
Regulasi ini tidak hanya menargetkan perusahaan besar, tetapi juga menyentuh seluruh rantai pasok hingga ke tingkat petani. Setiap perusahaan wajib mengumpulkan koordinat geografis (geolokasi) dari semua lahan tempat komoditas diproduksi. Hal ini menjadi krusial karena UE berencana menggunakan citra satelit dan sistem pemantauan untuk memverifikasi klaim perusahaan. Negara-negara pemasok juga akan diklasifikasikan berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yang akan memengaruhi tingkat uji tuntas yang diperlukan.
Dampak Signifikan pada Sektor Pertanian dan Perkebunan Indonesia
Sebagai produsen utama minyak kelapa sawit dan kopi, serta komoditas lain seperti kakao dan karet, Indonesia sangat terdampak oleh implementasi EUDR. Sektor kelapa sawit, yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi jutaan petani dan pekerja, menghadapi tantangan terbesar. Meskipun Indonesia telah memiliki standar keberlanjutan sendiri seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), terdapat perbedaan dalam definisi deforestasi dan persyaratan geolokasi yang membuat penyesuaian menjadi esensial.
Para petani kecil, yang seringkali tidak memiliki akses teknologi dan sumber daya yang memadai untuk mengumpulkan data geolokasi atau memahami persyaratan uji tuntas yang rumit, berada di garis depan dampak ini. Keterbatasan dalam pelacakan produk dari kebun hingga konsumen akhir menjadi hambatan utama. Jika tidak mampu memenuhi persyaratan EUDR, produk-produk Indonesia berisiko kehilangan akses ke pasar UE, yang merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar. Hal ini berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan dan memengaruhi mata pencarian jutaan orang.
“Regulasi ini adalah tantangan yang kompleks, terutama bagi petani kecil kita. Diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk membangun sistem pelacakan yang transparan dan memastikan keberlanjutan di seluruh rantai pasok agar produk kita tetap kompetitif di pasar global.”
Upaya Adaptasi dan Kolaborasi Menuju Keberlanjutan
Menyikapi EUDR, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah strategis. Ini termasuk memperkuat standar ISPO agar lebih selaras dengan tuntutan internasional, mengembangkan sistem data terintegrasi untuk pelacakan produk, dan menjalin dialog intensif dengan pihak UE. Kemitraan dengan negara-negara produsen lain seperti Malaysia juga dilakukan untuk menyatukan suara dan menemukan solusi bersama.
Selain itu, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia juga berperan aktif dalam membantu petani kecil untuk memahami dan memenuhi persyaratan EUDR. Pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan, penggunaan teknologi pemetaan geospasial, dan fasilitasi sertifikasi menjadi fokus utama. Adopsi teknologi seperti blockchain untuk ketertelusuran produk juga mulai dijajaki untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan.
Meskipun menantang, EUDR juga dapat menjadi katalisator bagi Indonesia untuk mengakselerasi transisi menuju ekonomi hijau. Dengan memastikan produk yang diekspor bebas deforestasi, Indonesia tidak hanya memenuhi tuntutan pasar, tetapi juga berkontribusi pada upaya global mitigasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati. Kepatuhan terhadap regulasi ini dapat meningkatkan citra produk Indonesia di mata dunia dan membuka peluang pasar baru yang mengutamakan keberlanjutan.
- Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) mewajibkan perusahaan melakukan uji tuntas untuk memastikan produk tidak berasal dari lahan deforestasi setelah 2020.
- Tujuh komoditas utama, termasuk minyak kelapa sawit, kopi, dan kakao, menjadi target utama regulasi ini.
- Indonesia, sebagai produsen komoditas besar, menghadapi tantangan besar dalam hal pelacakan geolokasi dan sertifikasi, khususnya bagi petani kecil.
- Pemerintah Indonesia dan pelaku industri tengah berupaya memperkuat standar keberlanjutan dan sistem data untuk memenuhi persyaratan EUDR.
- Adopsi praktik berkelanjutan dan kolaborasi internasional menjadi kunci untuk mempertahankan akses pasar UE dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.