Uncategorized

Pencegahan Kekerasan & Perundungan di Sekolah: Peran Mendesak

Isu kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan kembali mencuat ke permukaan, menyoroti urgensi akan upaya pencegahan dan penanganan yang lebih komprehensif. Berbagai kasus yang terungkap belakangan ini, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga seksual, tak hanya menyisakan luka fisik dan psikis bagi korban, tetapi juga menciptakan iklim belajar yang tidak kondusif. Kondisi ini mengancam hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang aman dan nyaman, sekaligus menuntut semua pihak, mulai dari pemerintah, satuan pendidikan, orang tua, hingga masyarakat, untuk bertindak secara kolektif dan sistematis.

Tantangan Implementasi Kebijakan Pencegahan Kekerasan

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya melalui penerbitan regulasi seperti Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Regulasi ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk menciptakan lingkungan pendidikan bebas kekerasan. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan signifikan. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman dan sosialisasi yang merata mengenai substansi Permendikbudristek ini di semua level, terutama di daerah-daerah terpencil.

Banyak satuan pendidikan yang masih belum memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) atau Satuan Tugas (Satgas) sesuai amanat Permen, atau jika pun ada, belum berfungsi secara optimal. Keterbatasan sumber daya, baik manusia maupun finansial, juga menjadi kendala. Guru dan staf sekolah mungkin belum sepenuhnya terlatih untuk mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan, melakukan intervensi yang tepat, atau memberikan dukungan psikososial kepada korban. Selain itu, budaya “toleransi” terhadap perundungan atau anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari “proses pendewasaan” masih mengakar di beberapa komunitas, menghambat pelaporan dan penanganan kasus.

Dampak dari implementasi yang belum optimal ini adalah masih seringnya kasus kekerasan yang tidak terungkap, tidak tertangani dengan serius, atau bahkan disembunyikan untuk menjaga reputasi sekolah. Hal ini tentu saja merugikan korban dan memberikan celah bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya tanpa konsekuensi yang berarti. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih keras dalam sosialisasi, pelatihan, pengawasan, dan alokasi sumber daya yang memadai agar Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tidak hanya menjadi teks hukum, melainkan menjadi panduan efektif dalam praktiknya.

Membangun Ekosistem Pendidikan yang Aman dan Inklusif

Menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar bebas dari kekerasan dan perundungan memerlukan pendekatan multi-pihak yang holistik dan berkelanjutan. Fokus tidak hanya pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan. Salah satu pilar utamanya adalah pendidikan karakter yang kuat, yang menanamkan nilai-nilai empati, saling menghormati, toleransi, dan resolusi konflik secara damai sejak dini. Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pengembangan profil pelajar Pancasila dapat menjadi wadah yang efektif untuk tujuan ini, asalkan diimplementasikan dengan benar dan didukung oleh semua pemangku kepentingan.

Peran guru sangat krusial sebagai garda terdepan. Guru harus dibekali tidak hanya dengan kompetensi akademik, tetapi juga kemampuan untuk menjadi konselor, fasilitator, dan pengamat yang peka terhadap perubahan perilaku siswa. Pelatihan berkala tentang identifikasi kekerasan, teknik komunikasi asertif, dan psikologi perkembangan anak mutlak diperlukan. Selain itu, orang tua juga memiliki peran fundamental. Komunikasi terbuka antara sekolah dan rumah, serta pengawasan orang tua terhadap aktivitas anak, baik di dunia nyata maupun digital, sangat penting untuk mendeteksi potensi masalah lebih awal.

Penyediaan mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan korban juga esensial. Siswa harus merasa nyaman dan percaya diri untuk melaporkan kekerasan tanpa takut akan stigmatisasi atau pembalasan. Program-program anti-perundungan yang melibatkan siswa secara langsung dalam penyusunan dan pelaksanaannya dapat meningkatkan kesadaran dan rasa kepemilikan. Pada akhirnya, membangun ekosistem pendidikan yang aman adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi penerus yang berintegritas, berempati, dan mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.

"Pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan bukanlah tanggung jawab satu pihak saja, melainkan kolaborasi seluruh elemen bangsa. Sekolah, keluarga, pemerintah, dan masyarakat harus bergandengan tangan menciptakan ruang aman agar anak-anak kita bisa tumbuh optimal dan berprestasi tanpa rasa takut." – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

  • Isu kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan memerlukan perhatian serius dan penanganan komprehensif dari semua pihak.
  • Meskipun regulasi seperti Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 telah ada, implementasinya masih menghadapi tantangan dalam sosialisasi, sumber daya, dan perubahan budaya.
  • Pembentukan dan pengoptimalan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) atau Satuan Tugas (Satgas) di setiap satuan pendidikan adalah kunci.
  • Pendekatan holistik meliputi pendidikan karakter, pelatihan guru, peran aktif orang tua, serta mekanisme pelaporan yang aman dan efektif.
  • Membangun ekosistem pendidikan yang aman dan inklusif adalah investasi krusial untuk masa depan generasi penerus bangsa.